Adapun yang menjadi dasar diajukannya Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan a quo adalah sebagai berikut :
TUJUAN DAN WEWENANG PRAPERADILAN
Berdasar Penjelasan Pasal 80 KUHAP ( bukan Pasal 80 KUHAP ) berbunyi :
“Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.”
Berdasar Pasal 82 Ayat (1) huruf (b) berbunyi :
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang “;
Berdasar Diktum Menimbang KUHAP :
Menimbang:
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan.Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
bahwa - oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat ditegakkan.
Bahwa berdasar alasan Penjelasan Pasal 80 KUHAP dengan jelas menyatakan meskipun Praperadilan diatur dalam KUHAP yang bersifat formil namun justru tujuannya adalah materiel yaitu “menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran “ dan dengan jelas dapat dimaknai menegakkan hukum bukan sekedar demi kepastian hukum atau dapat dimaknai Kepastian Hukum adalah Kepastian Hukumyang Tegak berlandaskan keadilan dan kebenaran;
Bahwa frasa “sarana pengawasan secara horizontal “ Penjelasan Pasal 80 KUHAP tentunya sangat jelas yang bisa melakukan pengawasan horizontal adalah Hakim Pemeriksa Praperadilan. Hal ini tidak ditemukan dalam system HIR ataupun Hukum Acara Persidangan Pokok Perkara Tindak Pidana, dengan demikian Hakim kedudukan, tugas dan wewenangnya sangat tinggi untuk melakukan control penuh atas dipatuhinya KUHAP dalam proses Penyidikan dan semua upaya paksa yang menyertainya untuk betul-betul melindungi hak azasi manusia sebagaimana dirumuskan Diktum Menimbang KUHAP huruf ( c ).
Bahwa frasa “hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang” pada Pasal 82 Ayat (1) huruf (b) tidak ditemukan dalam HIR maupun Hukum Acara Pidana dalam persidangan pokok perkara. Hakim disini jelas harus bersifat sangat aktif, bukan aktif pasif seperti dalam persidangan pokok perkara pidana atau pasif seperti persidangan perdata. Hal ini tentunya dimaksudkan Hakim harus menggali sedalam-dalamnya dalam Praperadilan untuk menentukan apakah Penyidik atau Penuntut telah menjalankan tugasnya demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran. Hanya dalam Praperadilan Hakim mendengar keterangan Pemohon sebagai saksi, yang mana hal ini tidak mungkin ditemukan dalam persidangan pokok perkara Pidana maupun Perdata. Hakim berkedudukan sangat tinggi dalam system Praperadilan karena ditangannyalah selakuPengawasHorizontal untuk memastikan Penyidik atau Penuntut menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran serta sesuai HAM;
TENTANG HAK DAN KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON
Bahwa Pemohon I adalah Pelapor Korban kepada Termohon I dalam perkara dugaan Pencurian dan Memasuki Pekarangan Tanpa Ijin dengan Tersangka Suherman Mihardja alias Aan;
Bahwa Pemohon II adalah lembaga yang telah melakukan aktifitas pengawalan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan keadilan khususnya bagi korban suatu tindak pidana ;
Bahwa berdasar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh Penyidik/Penuntut dan Pihak Ketiga Berkepentingan;
Bahwa siapa yang dimaksud dengan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pasal 80 KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara nomor 98/PUU-X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013 dimana Pemohonnya adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam amar putusannya menyatakan :
Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, maka Para Pemohon memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Permohonan Praperadilan a quo.
DALIL PENGHENTIAN PENYIDIKAN SECARA MATERIEL DAN DIAM-DIAM
Bahwa Pasal 1 butir 10 point b, UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan "Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan";
Bahwa Pasal 77 huruf a UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan "pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan";
Bahwa tidak sahnya Penghentian Penyidikan dalam permohonan aquo adalah permohonan pemeriksaan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil ;
Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak secara tegas menyebutkan bentuk penghentian penyidikan harus berupa Surat Penghentian Penyidikan. Ini berbeda dengan penghentian penuntutan yang ditegaskan dalam pasal 140 ayat (2) huruf a menyatakan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan.
Bahwa berdasarkan pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Bahwa dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, memang diatur bahwa jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib memberitahu penuntut umum dan tersangka atau keluarganya.
Namun, dalam prakteknya, penyidik jarang menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan khawatir korban/pelapor akan melakukan pra peradilan. Akibatnya, tak jarang penyidik mendiamkan perkara hingga perkara tersebut tidak dapat diproses karena terjadi daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam pasal 78-80 KUHP.
Kalaupun penyidik melakukan pelimpahan berkas perkara, terjadi pelimpahan bolak balik yang tak kunjung selesai antara penyidik dengan jaksa peneliti berkas, karena penyidik enggan atau tidak melaksanakan petunjuk yang diberikan jaksa agar berkas dapat dinyatakan lengkap sebagai dasar menyusun dakwaan ataupun Jaksa memberi petunjuk subyektif yang sulit dipenuhi oleh Penyidik;
Bahwa karena tidak terdapat panduan baku dalam KUHAP dan rawan terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaannya, maka beberapa hakim melakukan terobosan dengan melakukan penafsiran atas perbuatan-perbuatan penyidik yang dikategorikan sebagai bentuk penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam frasa “penghentian penyidikan” dalam KUHAP, melalui beberapa putusan pengadilan, yaitu :
Penetapan Nomor: 5/Prp./1982/PN.UP, tanggal 14 Desember 1982;
Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor : 01/PID/PRA 2008/PN TK;
Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 04/Pid.Pra/2007/PN.Skh;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 04/PID.PRAP/2010/PN.JKT.PST dengan Pemohon Muspani (mantan DPD) melawan Jaksa Agung RI dalam perkara Penghentian Penyidikan Tidak Sah kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan Tersangka Mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Nazamudin;
Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 01/PRA/2014/PN. Byl yang diputuskan tanggal 05 Desember 2014 dan diucapkan tanggal 08 Desember 2014;
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN. Jkt. Sel yang diputuskan tanggal 9 April 2018;
Bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 01/PRA/2014/PN.Byl yang diputuskan tanggal 05 Desember 2014 dan diucapkan tanggal 08 Desember 2014, pada halaman 25 dijelaskan :
“Menimbang, bahwa dengan adanya tindakan Termohon I tersebut telah membuat perkara in casu menjadi menggantung yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap perkara tersebut.
Menimbang bahwa Termohon I merupakan organ yang melaksanakan tugas jalannya penegakan hukum sehingga didalam melaksanakan tugasnya sebagai aparat hukum tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap suatu perkara.
Menimbang, bahwa oleh karena Praperadilan merupakan fungsi control tehadap jalannya penyidikan dan untuk adanya kepastian hukum terhadap perkara a quo maka terhadap perkara a quo Hakim berpendapat walaupun secara formil Termohon I tidak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara a quo namun secara materiil tindakan Termohon I yang tidak menindaklanjuti proses penyidikan selama bertahun-tahun dapat dikatakan tindakan Termohon I tersebut dipersamakan dengan Termohon I telah melakukan Penghentian Penyidikan Terhadap Perkara a quo.
Menimbang, bahwa oleh karena hakim berpendapat tindakan Termohon I yang telah lama tidak menindaklanjuti proses penyidikan terhadap perkara a quo merupakan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan penghentian penyidikan yang tidak sah maka pengadilan memerintahkan.........”
Bahwa berdasar Jurnal Ilmiah Bernadetta Rumondang FS sebagaimana tertuang dalam : “ https://media.neliti.com/media/publications/118023-ID-pengujian-sah-tidaknya-penghentian-penyi.pdf “ menyatakan telah terjadi tindakan penghentian penyidikan apabila aparat penegak hukum tidak melanjutkan proses atau tahapan berikutnya setelah proses atau tahapan sebelumnya telah selesai dilaksanakan dengan sempurna :
“Bahwa penghentian penyidikan, tidak semata-mata terbatas pada formalisitik Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), melainkan merupakan tindakan Penyidik yang tidak menindaklanjuti suatu perkara pidana untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, bahkan sampai berlarut-larut tidak juga ada kejelasan terhadap suatu perkara pidana yang telah dilaporkan oleh Pelapor / Korban Tindak Pidana.
Faktanya, terdapat Putusan Praperadilan yang menolak Permohonan Praperadilan tentang pengujian sah tidaknya penghentian penyidikan, dengan pertimbangan hukum bahwa Pemohon Praperadilan tidak dapat membuktikan adanya suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) padahal, Surat Perintah Penghentian Penyidikan bukan merupakan satu-satunya syarat untuk mengajukan pengujian tentang sah tidaknya penghentian penyidikan melalui Lembaga Praperadilan, karena penghentian penyidikan tidak semata-mata hanya ditafsirkan secara harafiah dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), melainkan merupakan tindakan Penyidik dalam rangka tidak melanjutkan penyidikan suatu tindak pidana yang telah dilaporkan kepadanya.”
Bahwa berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan tindak pidana telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga harus dilakukan upaya hukum pemaknaan secara diperluas sebagai bentuk penghentian penyidikan materiel dikarenakan bertentangan dengan azas dan filosofi yang termuat dalam Undang Undang :
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM;
Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin.
Pasal 50 KUHAP
Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
DALIL TIDAK SAHNYA PENGHENTIAN PENYIDIKAN SECARA MATERIIL TERSANGKA SUHERMAN MIHARDJA ALIAS AAN :
Bahwa Termohon I telah melakukan penanganan perkara terkait dugaan tindak pidana pencurian dan memasuki pekarangan tanpa ijin dan TELAH MENETAPKAN TERSANGKA SUHERMAN MIHARDJA ALIAS AAN;
Bahwa dugaan perkara aquo telah memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagaimana dirumuskan tindak pidana serta telah memenuhi kecukupan alat bukti yaitu sudah terdapat minimal dua alat bukti dan terbukti berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur bulan Desember 2018 namun kemudian sampai saat ini ternyata belum dilakukan penyerahan tahap II ( Tersangka dan barang bukti) dari Termohon I kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur;
Bahwa Termohon I tidak melakukan kegiatan riel penyerahan tahap II (tersangka dan barang bukti) kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur. Dengan demikian Termohon I telah melakukan penghentian penyidikan materiel dan secara diam–diam karena dengan jelas Termohon I telah melanggar Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP :
“ b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. “
Bahwa Termohon I tidak pernah menyerahkan Tersangka kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur meskipun telah ditagih dengan surat resmi dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur kepada Termohon I;
Bahwa Termohon I tidak melakukan tindakan memasukkan kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Tersangka Suherman Mihardja alias Aan setelah nyata-nyata Termohon I gagal memanggil dan mencari keberadaan Tersangka Suherman Mihardja di kediamannya. Pencarian telah gagal sehingga gagal juga Penyerahan Tahap II karena tidak diketemukan orangnya Suherman Mihardja alias Aan;
Bahwa Para Pemohon telah mengirimkan Surat kepada Termohon II yang berisi permintaan kepada Termohon II untuk memerintahkan Termohon I segera melakukan penyerahan Tahap II atas Tersangka Suherman Mihardja alias Aan ;
Bahwa Pemohon sangat aktif membantu tugas Termohon I dengan cara memberikan informasi keberadaan Tersangka Suherman Mihardja alias Aan termasuk keberadaan Tersangka Suherman Mihardja alias Aan pada tanggal 12 dan 13 Pebruari 2019 di wilayah Kota Tangerang namun Termohon I tidak memberikan respon memadai atas informasi yang diberikan Pemohon kepada Termohon I ;
Bahwa Para Pemohon telah mengajukan permintaan kepada Termohon I untuk memasukkan kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Tersangka Suherman Mihardja alias Aan setelah nyata-nyata Termohon I gagal memanggil dan mencari keberadaan Tersangka Suherman Mihardja, namun sampai saat ini permohonan DPO ini tidak pernah dilakuan oleh Termohon I ;
Bahwa Termohon I dalam menangani perkara dugaan tindak pidana aquo tidak menjalankan amanah Peraturan internal yang semestinya mengikat terhadap Termohon I dalam bentuk Peraturan Kapolri (PerKap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana), Peraturan Kabareskrim dan SOP Penanganan Perkara Tidak Pidana oleh Kepolisian RI sehingga karenanya haruslah tindakan Termohon I adalah dianggap dan dinyatakan sebagai tindakan melakukan Penghentian Penyidikan Materiel secara tidak sah dan tidak berdasar hukum ;
Bahwa dikarenakan TERMOHON I telah menghentikan penyidikan perkara aquo secara tidak sah dan melawan hukum, maka TERMOHON I harus dihukum untuk melanjutkan pelimpahan Tahap II kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur ;
Bahwa Termohon II dan Termohon III adalah atasan langsung dari Termohon I yang seharusnya memberikan pengawasan dan pembinaan akan tugas dan kewajiban yang harus dijalankan oleh Termohon I maka atas tindakan Termohon I yang telah melakukan Penghentian Penyidikan Materiel maka sudah sewajarnya dan seharusnya Termohon II dan Termohon III menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Termohon I;
Bahwa dikarenakan TERMOHON II dan TERMOHON III telah turut serta atau menyuruh lakukan menghentikan penyidikan perkara aquo secara tidak sah dan melawan hukum, maka TERMOHON II dan TERMOHON III harus dihukum untuk memerintahkan Termohon I melakukan Penyerahan Tahap II Tersangka Suherman Mihardja alias Aan kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur ;
Bahwa Para Pemohon sangat merasakan adanya indikasi Para Termohon mengulur penanganan perkara aquo dengan cara saling melempar tanggungjawab dan adanya tekanan dan atau permintaan dari oknum kepada Pemohon dan keluarganya untuk melakukan perdamaian dengan Tersangka Suherman Mihardja yang tentunya hal ini mencederai rasa keadilan bagi korban ( Pemohon I ) ;
Bahwa Turut Termohon tidak menjalankan tugasnya mengawasi kinerja dan etika Para Termohon dan Turut Termohon tidak menjalankan tugasnya mengawasi kinerja dan etika Para Termohon maka kepada Turut Termohon dinyatakan bersalah tidak menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku ;
Bahwa Turut Termohon tidak melakukan supervisi dan pengawasan penanganan perkara sesuai kewenangannya dari Termohon I. II dan III yang mana jelas-jelas terbukti telah terjadi hambatan serius penuntasan perkara sesuai kewenangannya berdasar KUHAP dan Peraturan Kapolri serta SOP Penanganan Perkara Tidak Pidana oleh Kepolisian RI ;
Bahwa dalam penanganan perkara aquo yang berlarut-larut dan belum dilakukan penyerahan tahap kedua ( tersangka dan barang bukti) , maka PARA TERMOHON melanggar :
Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin;
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum yang berbelit-belit dan merupakan pelanggaran tershadap HAM;
Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP :
“ b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. “
Pasal 50 KUHAP yang benbunyi:
Ayat (1) ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”;
Ayat (2) ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”; dan
Ayat (3) ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
Bahwa tujuan Praperadilan adalah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP berbunyi : “Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.” Bukan bermaksud menggurui, jika terjadi ketidakpastian hukum dan ketidak-adilan bagi Korban Korupsi Seluruh rakyat NKRI dengan berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi a quo, maka atas dasar kewenangannya maka Hakim dalam memberikan putusan Praperadilan tidak semata-mata atas formalitas dan kepastian hukum, tetapi Hakim harus memutus Praperadilan aquo demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengabulkan seluruh Petitum Permohonan Praperadilan dalam perkara aquo. Mohon diijinkan Pemohon merasakan hukum tegak, keadilan dan kebenaran ( JEJEGING ADIL);
Bahwa oleh karena Penghentian Penyidikan atas atas perkara a quo adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya, maka selanjutnya PARA TERMOHON diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketetentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Cianjur berkenan memeriksa dan memutus ;
P R I M A I R :
Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya;
Menyatakan Pengadilan Negeri Cianjur berwenang memeriksa dan memutus permohonan aquo ;
Menyatakan Para Pemohon sah dan berdasar hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan atas perkara a quo.
Menyatakan secara hukum Termohon I bersama sama Para Termohon telah melakukan tindakan PENGHENTIAN PENYIDIKAN secara materiel dan diam – diam yang tidak sah menurut hukum, berupa tindakan tidak menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas Tersangka Suherman Mihardja alias Aan dan tidak melanjutkan proses perkara aquo sesuai tahapan KUHAP , UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana terhadap perkara DENGAN TERSANGKA SUHERMAN MIHARDJA ALIAS AAN;
Menyatakan Turut Termohon tidak menjalankan tugasnya mengawasi kinerja dan etika Para Termohon dan menyatakan maka kepada Turut Termohon dinyatakan bersalah tidak menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku;
Memerintahkan Termohon I untuk memasukkan Tersangka Suherman Mihardja alias Aan kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah nyata-nyata Termohon I gagal memanggil dan mencari keberadaan Tersangka Suherman Mihardja ;
Memerintahkan TERMOHON I melakukan proses hukum selanjutnya sebagaimana diatur dalam KUHAP berupa melakukan pelimpahan tahap II ( Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti) perkara aquo TERSANGKA SUHERMAN MIHARDJA ALIAS AAN kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cianjur secara fisik atau secara in absensia ( tanpa kehadiran atau keberadaan Tersangka ) ;
Memerintahkan mematuhi Putusan ini kepada Termohon II, Termohon III dan Turut Termohon untuk menjalankan tugasnya mengawasi kinerja dan etika Termohon I berdasar tugas, fungsi dan wewenangnya yang diatur Undang-Undang yang berlaku ;
S U B S I D A I R :
Memeriksa dan mengadili Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan ini dengan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Ex aequo et bono). |